Cerpen


Pemandangan pagi itu membuat dadanya sungguh sangat sesak. Dan Kana buru-buru menikung, masuk ke kelas.


Siapa sih yang nggak kenal Kana dan Antya? Dua sahabat yang konon ketemu waktu sama-sama dihukum karena terlambat datang saat MOS. Yang jelas dua cewek yang belum genap dua tahun berada di SMA Kartika ini telah memecahkan rekor sebagai penyumbang piala terbanyak. Belum lagi mereka terkenal karena otaknya yang encer. Antya, dengan dengan modal bawelnya itu kerap ikut lomba presenter, pidato maupun story telling. Sedang Kana, yang juga cerewet tapi tak separah Antya itu tak pernah absen ikut lomba karya ilmiah, debat, pokoknya yang sejenis itulah. Di mana ada Antya, pasti ada Kana. Lucunya, kalau hari itu Antya sedang lomba pidato, pasti Kana juga tidak masuk sekolah. Kenapa? Karena ia juga sedang lomba debat. Dan, keesokkan harinya mereka datang ke sekolah dengan membawa piala yang siap diserahkan ke sekolah mereka. Hm... lucu memang melihat mereka berdua. Karena mereka bebas dari imej orang pinter yang berkacamata tebal dan gaya yang culun. Tak ada yang tahu bagaimana caranya memisahkan mereka berdua. Kompak banget sih.
Sampai suatu hari...
Kana melangkah ringan di koridor lantai dua SMA Kartika. Ia menuju ke kelas Sosiologi, mata pelajaran pertama di hari Jumat ini. (Di Kartika dipakai sistem moving class). Kana sangat menyukai kelas Sosiologi. Bukan hanya karena pelajarannya atau gurunya, Pak Anton yang selalu mengeluarkan joke-joke segar selama mengajar sehingga kelasnya tak pernah sepi dari tawa anak-anak kecuali saat ulangan tentunya, tapi Kana pun menyukai letak kelas ini. Karena dari koridornya, tak jarang Merapi menampakkan kemegahannya. Kana sangat menyukai pemandangan itu. Ia betah berlama-lama menyaksikannya sampai bel masuk berbunyi atau sampai Antya datang dan menyeretnya untuk masuk ke kelas. Hari ini Merapi tertutup kabut. Kana pun masuk ke kelas. Tapi, baru sampai di depan kelas, ia melihat pemandangan yang amat tidak disukainya. Antya, sahabatnya itu tengah bercanda ria sambil berpegangan tangan dengan Ben.

Ben! (Cowok paling nakal sepanjang sejarah sekolah ini berdiri sekaligus cowok yang paling dibenci Kana. Pernah, saat Kana hendak berkonsultasi tentang makalah lomba Ilmu Sosial, Ben merusak makalah yang ada di tangannya. Tak hanya itu, disket tempat file makalah itu disimpan juga jadi sasaran. Kana yang saat itu berambisi untuk memenangkan lomba, jelas sakit hati dan mulai tersulut api permusuhan dengan Ben).

Pemandangan pagi itu membuat dadanya sungguh sangat sesak. Dan Kana buru-buru menikung, masuk ke kelas.

“Pagi Kana,” sapa Antya, mengejarnya, membuyarkan lamunannya.

“Oh-eh, pagi juga,” jawabnya gugup.
“Duduk disini, Na.” Antya menunjuk kursi kosong di dekatnya.

“Ngggg..... gue lagi pengen duduk di depan nih.” Kana segera meletakkan tasnya di kursi terdepan lalu bergegas keluar. Ia sudah tak tahan melihat itu semua. Menjijikkan, pikirnya. Kini di kepalanya terbayang perpustakaan. Sepi, sendiri. Masih ada beberapa menit untuk itu sebelum pelajaran dimulai.

“Kana!” Seseorang memanggil, membuatnya menghentikan langkahnya. Ternyata Ventura, cowok ceking itu setengah berlari mengejarnya.

“Ada apa, Ven?” tanyanya
“Elo kenapa, sih? Pagi-pagi tampangnya bete banget?”

“Ah, nggak apa-apa kok. Gue cuma agak stres, deadline makalah karya ilmiah paling lambat hari Senin besok nih! Padahal gue masih kurang satu bab,” jawabnya, berkilah.
“Bohong. Pasti ada apa-apa.”

“Bener kok. Jangan sok tahu loh!”

“Kana, biar begini gue temen elo dari TK. Jadi gue tahu, elo nggak mungkin punya tampang bete cuma gara-gara itu. Pasti gara-gara Antya dan Ben. Bener nggak?”.
“Kok tahu?”

“Gubrak! Ya iya-lah. Semua anak udah bisa nebak elo bakalan bete kalo ngeliat mereka mesra-mesraan apalagi jalan bareng.”
“Apa?! Mereka udah jalan bareng? Kok gue nggak tahu?”

“Gubrak lagi! Kamu ke mana aja sih, Non? Masak tiap malam Minggu nggak pernah ngeliat mereka jalan ke mall?”
“Dua kali malam minggu ini kan gue lembur ngerjain makalah. Nggak pergi ke mana-mana.”

“Bukan dua kali malam minggu ini, Non, tapi empat kali malam minggu ini elo ke mana aja?”
“Tiga minggu lalu gue ke Kudus, kakak sepupu gue menikah. Bulan lalu gue ke... Semarang, ke rumah Eyang. Eh, berarti mereka udah sebulan deket?!” Suara Kana meninggi.
“Ssssssttt... nggak usah teriak-teriak gitu kenapa sih? Kan, elo temen gue dan Antya temen gue juga. Gue nggak pengen Antya kenapa-kenapa gara-gara Ben. Elo tau kan, cerita mantan-mantannya Ben?”

Kana mengangguk, tercenung sebentar, kemudian bergumam…

“Ya, gue bakal ngomongin ini ke Antya.”
***
Tut .... tut ... tut ...

“Allow, selamat sore.” suara Antya terdengar di seberang sana.

“An, ada waktu nggak?”

“Ada, kenapa Kan?”

“An, elo kok nggak cerita kalo elo deket ama Ben?”

“Ngapain gue musti cerita ama loe? Gue udah tau kalo elo pasti nggak setuju.”

“Bagus deh kalo elo udah tahu. An, elo tau gimana rusaknya Ben? Ngapain elo nekat deketin dia juga?”

“Na, jangan sembarangan kalo ngomong! Ben itu nggak seperti yang elo kira. Dia itu cowok baik. Kalaupun rusak, dengan gue deket ama dia, Ben pasti berubah.”

“Iya, udah banyak cewek yang nyoba teori elo. Tapi, bisa dihitung dengan jari yang berhasil.”

“Na, gue udah gede dan nggak selamanya gue bareng loe terus. Gue juga pengen punya cowok. Lagian, mantannya Ben itu yang bodoh banget. Mau aja nyerahin mahkota mereka ke Ben”.
“Dan elo mau kayak mereka? An, kalo jadi cewek yang selektif dong”

“Na, gue bosen elo ikut campur urusan gue. Lebih baik elo urus diri elo sendiri. Gue bisa jaga diri gue sendiri!!!”

Klik! Telepon diputus. Antara sadar atau tidak, Kana masih tidak percaya dengan kata-kata Antya. Air matanya menetes. Ia takut kehilangan sahabatnya itu. Tapi, Kana tahu prioritasnya saat ini adalah Lomba Karya Ilmiah. Segera dihapusnya air mata yang menggenang di pipinya lalu beranjak menuju meja komputer.
***
“Pagi, Kana!” Sapa Ventura pagi itu, saat Kana sedang melintas di depan koridor aula sekolah.

“Pagi. Ada cerita apa nih selama dua hari kutinggal lomba?” Ventura terdiam.

“Ven, kok diem aja?” Kana mengguncang tubuh Ventura yang kurus ceking itu.

“Duduk dulu deh,” katanya sambil menunjuk kursi panjang di depan aula.

“Sebenernya ...” Belum selesai Ventura berucap, segerombolan cewek datang.
“Kana, selamat ya.....” Ujar Pipin, salah satu dari mereka.

“Selamat buat apa? Kalo soal lomba kemaren, belum ada pengumumannya.”

“Nggak usah pura-pura nggak tahu deh Na. Itu lho... berita jadiannya Antya dengan Ben!”
“Hah????!!!”

“Oh ya, kamu nggak tahu ya? Kemaren kan kamu masih lomba. Padahal, beritanya itu diumumkan lewat radio sekolah lho ...! Udah dulu ya, kita mau masuk kelas dulu,” ujar Donna panjang lebar. Setelah mereka pergi, Kana terduduk lemas, sedang Ventura hanya terdiam. Kana merasa, hari itu mood-nya untuk mengikuti pelajaran sudah hilang.
***
“Kana, gue mau ngomong ama elo,” ujar Antya saat Kana sedang mengetik tugas di lab komputer.

“Nggak bisa sekarang. Gue lagi ngerjain tugas,” jawab Kana tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar komputer.
“Gue maunya sekarang!”

“Kok maksa, seeeh! Yang punya urusan siapa? Sabar dong!”

Di luar dugaan, Antya langsung ke belakang Kana dan mematikan komputer yang sedang dipakai Kana untuk mengetik.

“Heh! Elo ini kenapa, sih? Ini tugas penting tau! Seenaknya aja matiin komputernya! Mana gue belum sempet nge-save!!!”
“Gue mau nanya, elo kan yang ngejelek-jelekin Ben di depan kakak gue? Kalo elo nggak bisa nerima gue jadian ama Ben, jangan kayak gitu caranya!” Suara Antya langsung meninggi. “Ngapain pake bawa kakak gue!”

“Denger An, gue bukannya mau ngejelek-jelekin cowok elo. Tapi, yang gue bilang ke kakak elo itu emang bener. Coba aja kakak elo tanya ke semua anak di sekolah ini. Jawabannya pasti nggak bakal jauh beda!” Suara Kana juga meninggi.
“Denger Kan, mulai hari ini gue nggak akan nganggep elo temen gue”

“OK. Kalo itu emang yang elo mau. Gue masih bisa hidup tanpa elo. Masih banyak kok yang mau jadi temen gue!” balasnya
Antya pun pergi.
***.
Bulan pun berlalu, Kana dan Antya tak pernah lagi bertegur sapa. Yang jelas, perubahan kontras terjadi pada diri Antya. Bukan Antya yang aktif ikut lomba presenter, atau sejenisnya. Tapi Antya yang kerap keluar-masuk ruang BP karena kelakuan buruknya, karena ketahuan membawa komik ke sekolah, dan sederet kenakalan lain yang memenuhi buku hitam sekolah. Sedangkan Kana makin melebarkan sayapnya. Prestasinya terus terukir, beragam penghargaan telah memenuhi ruang rektor. Bagi Kana, masa remaja itu masa persiapan untuk menuju masa depan. Bagaimana kita memanfaatkan masa-masa remaja yang singkat ini. Kalau kita tanya Antya, ia akan menjawab masa remaja itu singkat dan wajib dinikmati, karena dalam masa ini kita punya banyak pilihan. Kalau sudah mulai dewasa, sudah nggak pantes lagi.
Nah, kalian pilih yang mana? Seperti Antya atau Kana?

Kalau kalian memilih seperti Kana atas dasar pengakuan dia karena prinsip-prinsipnya, kalian akan kecele.

Kalian tahu kenapa?

Nggak banyak yang tahu, tapi sebenarnya sekarang Kana lagi seru-serunya jalan sama Ben!.



Kamis, 24 Februari 2011
Gaun Putih, Cahayaku


“Bagaimana? Bagus ga?” tanyaku.
“Hmmm… Bagus. Cantik kok,” Dia tersenyum menatapku.
Aku kembali memasuki bilik itu. Lalu keluar lagi.
“Kalau yang ini? Bagus?”
“Iya, bagus!” lagi-lagi dia tersenyum.
Begitu seterusnya, dan jawabannya selalu sama.
“Sebenarnya kakak lebih suka yang mana? Ade bingung. Kalau dipikir-pikir dari kelima baju yang tadi ade coba, kakak selalu bilang bagus. Jadi beli yang mana nich?” tanyaku lagi.
“Ade itu selalu cantik, kok! Apapun itu kalau ade yang pakai pasti bagus, bahkan pakaian yang mungkin orang lain nggak cocok. Tapi kalau ade yang pakai selalu cantik. Sepertinya yang bikin cantik bukan pakaiannya, tapi ade. Karena ade sendiri sudah cantik, sehingga semua yang menempel di tubuh ade akan menambah kecantikan ade. Tidak ada yang akan mengurangi kecantikan ade, selama itu masih ade,” Duh, kerlingan matanya membuatku hampir pingsan.
Sekali lagi, aku mematut di kaca. Dengan gaun putih bermotif sederhana di tiap sudut dan tepiannya.

“Nah, yang ini paling bagus. Kakak suka ade pakai warna putih. Itu membuat ade semakin bersinar. Membuat ade semakin bercahaya. Ade selalu tampak kemilau dengan gaun putih. Semua warna putih seakan mempertegas kecantikan ade,” kali ini jawabannya lebih tegas dari biasanya. Dan aku yakin, inilah yang paling dia suka.
Gaun putih dengan motif sederhana. Cantik dan elegan, itu komentar yang berulang-ulang dia ucapkan. Sambil sesekali mendaratkan kecupan manis di kepalaku.
Yah, gaun putih! Dan mungkin semua warna putih itu akan membuatnya lebih menyukaiku, membuatnya semakin betah untuk terus di sampingku. Tidak akan pernah berpaling dariku, tidak akan membuatnya meninggalkanku, meski kelak aku semakin bertambah tua dan keriput. Tapi aku akan tetap menjadi bidadarinya seperti ketika pertama kali dia menyukaiku dan melamarku. Selamanya aku akan menjadi bidadarinya.
Gaun putih ini akan membuatku semakin mempesona, bagai bidadari yang menari di surga, itulah aku di matanya.
“Ade juga suka warna putih. Tidak sekedar karena terkesan bersih dan melambangkan kesucian. Tapi karena kelak, ketika kehidupan dunia telah berakhir, ade akan pulang ke akhirat dengan kain putih juga, yang membungkus seluruh tubuh ade. Putih, warna sejati, warna dasar dan warna yang memiliki berjuta makna,” kataku suatu ketika.
Tiba-tiba dia memelukku erat, “Dan selamanya, ade akan tetap menjadi bidadari kakak. Kakak akan meminta kepada Allah SWT, di akhirat kelak, kakak tidak butuh banyak bidadari. Kakak hanya membutuhkan satu bidadari, yaitu ade, istri kakak di dunia dan akhirat.”